WOMAN IN AL-QUR'AN ACCORDING TO ASMA BARLAS

Posted: Kamis, 16 Oktober 2008
( A Methodological Study in Interpretation Al-Qur'an )

Oleh : Eka Septi Kurniawati, S.Th.I.*)

A. PENDAHULUAN

Sejalan dengan perkembangan zaman, kaum perempuan akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan lebih dari masa-masa sebelumnya. Terutama setelah munculnya gerakan emansipasi wanita atau gerakan feminisme[1], suatu gerakan sosial bagi pembebasan perempuan yang sempat menjadi persoalan global dunia. Gerakan ini berawal dari Barat dan kemudian meluas ke seluruh penjuru dunia. Gerakan feminisme di Barat menuntut kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan dan penghapusan segala bentuk penindasan terhadap perempuan sebagai akibat konstruksi gender[2] yang bias laki-laki. Di samping itu gerakan tersebut juga berusaha mengadakan perubahan sistem dan struktur sosial masyarakat patriarkal[3], yang didominasi oleh laki-laki, kepada sistem matriarkal[4] yang didominasi oleh perempuan.

Seperti yang diungkap oleh studi-studi belakangan ini, status dan peran perempuan di berbagai masyarakat muslim, begitu pula dengan struktur patriarki dan relasi gender, merupakan hasil dari beragam faktor, yang kebanyakan tidak ada kaitannya dengan agama. Sejarah peradaban Barat dapat memperlihatkan bahwa “misogini”, ketidaksetaraan dan patriarki adalah sama sekali tidak Islami. Namun ketiga hal itu sering kali mendapat pembenaran dari negeri-negeri muslim dan ulama dengan mengatasnamakan Islam.

Kaum muslim membaca patriarki dan ketidaksetaraan gender dalam al-Qur'an baik berdasarkan ayat-ayat tertentu maupun perlakuan al-Qur'an yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam masalah nikah, cerai, dan waris. Berdasarkan ayat-ayat tersebut mereka menyimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan bukan saja berbeda secara biologis, tetapi juga tidak setara dan bertolak belakang, sebuah pandangan yang tercermin dalam klaim bahwa prinsip-prinsip maskulin dan feminin juga dibedakan secara ketat dalam Islam.

Al-Qur'an tidak begitu saja dapat mengubah dunia tanpa adanya usaha mengimplementasikannya oleh manusia sebagai obyeknya. Untuk itu, dibutuhkan upaya untuk memahami dan menggali semua ajaran yang terkandung dalam al-Qur'an, usaha tersebut dikenal dengan tafsir. Menafsirkan al-Qur'an secara garis besar ada dua metode yaitu metode tafsir bil ma'sur[5] dan metode tafsir bil ra'yi[6] dengan berbagai corak pendekatannya. Menurut al-Farmawi, dalam sejarah perkembangan tafsir ada berbagai metode dan corak tafsir. Di antara metode tafsir yaitu: tahlili, ijmali, muqarin dan maudu'i. Tafsir al-Qur'an berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan zaman. Hingga muncul metode tafsir baru, semisal metode tafsir kontekstual (pendekatan sosio-historis) yang telah diperkenalkan oleh Fazlur Rahman dan tafsir hermeneutik yang dipakai oleh Amina Wadud Muhsin.

Ketertarikan seseorang untuk mengkaji Islam sepertinya menjadi salah satu alasan mengapa banyak muncul kajian Islam. Hal ini seperti juga yang dilakukan Asma Barlas, seorang feminis Islam dan juga professor perempuan asal Pakistan, yang sejak 1983 tertarik untuk mengkaji teks-teks suci agama Islam yaitu al-Qur’an. Dari ketertarikannya pula muncul berbagai karya-karya hasil pemikirannya yang tidak lain ingin meluruskan bahwa Islam bukanlah agama yang diskriminatif. Salah satu karya Asma Barlas adalah Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Buku tersebut kemudian diterjemahkan dengan judul Cara Qur’an Membebaskan Perempuan.

Asma Barlas memandang perlunya pembacaan kembali terhadap al-Qur'an dalam perspektif yang menjunjung egalitarianisme. Ada dua hal yang ingin ia tekankan: pertama, ia menentang pembacaan al-Qur'an yang menindas perempuan, kedua, menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran Islam. Ia juga menolak klaim yang dibuat baik oleh kaum konservatif Islam maupun oleh kelompok feminis yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang memihak patriarki.

B. METODOLOGI PENAFSIRAN ASMA BARLAS

Metode dan prinsip-prinsip yang digunakan Asma Barlas dalam membaca kembali al-Qur’an dan aplikasinya terhadap ayat-ayat gender yaitu dalam rangka membangun sebuah prinsip egalitarianisme dan antipatriarkalisme di dalam al-Qur’an yang erat kaitannya dengan pembebasan perempuan, Barlas menggunakan dua argumen penting, yaitu: argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutik. Argumentasi sejarah maksudnya adalah penggunaan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Sedangkan argumentasi hermeneutik dimaksudkan untuk menemukan apa yang ia sebut sebagai epistemologi egalitarianisme dan antipatriarkalisme di dalam al-Qur’an, yang terletak dalam karakteristik pengungkapan diri Tuhan, yang menolak pandangan tentang kekuasaan ayah atau laki-laki.

Ada tiga langkah yang digunakan Barlas dalam hal ini:

1. Menjelaskan karakter teks al-Qur’an yang polisemik dan membuka pelbagai kemungkinan pemaknaan, sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang reduksionis dan esensialis, artinya tidak bolehnya membaca al-Qur’an dalam kerangka patriarkis saja.
2. Barlas ingin menolak relativisme penafsiran, sebuah pandangan yang menyatakan bahwa semua model bacaan pada dasarnya benar.
3. Meletakkan kunci-kunci hermeneutik untuk membaca al-Qur’an dalam karakter divine ontology, yaitu yang berciri ontologi ketuhanan. Prinsip-prinsip teologis yang digunakan oleh Barlas adalah terletak pada pengungkapan Diri Tuhan, yaitu keesaan, keadilan dan keunikan Tuhan.
Sedangkan Metodologi yang digunakan oleh Barlas, merujuk pada pemikir sebelumnya yaitu Fazlur Rahman, yaitu hermeneutika yang biasa disebut dengan gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. ketika Barlas mencoba untuk mengungkap makna teks yang polisemik serta ingin meluruskan pemahaman umat Islam tentang al-Qur’an yang bersifat antipatriarki. Dilihat dari perspektif epistemologis, corak berpikir Barlas yang lebih memilih dan merujuk teks kitab suci dapat dikategorikan sebagai corak epistemologi bayani (explanatory).

C. PRINSIP TEOLOGI PEMBEBASAN

Barlas ingin membuat klaim yang lebih spesifik dan lebih kontroversial (ketika berdialog dengan para sarjana kritis dan feminis). Yaitu bahwa al-Qur’an bersifat egaliter dan antipatriarki. Klaim ini tentu saja sangat sulit untuk ditegakkan, setidaknya ada dua alasan. Pertama. Sementara tidak ada definisi kesetaraan jender yang diterima secara universal, terdapat kecenderungan untuk memandang perbedaan sebagai bukti ketidaksetaraan. Dari sudut pandang ini, perlakuan al-Qur’an yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam beberapa persoalan (semisal pernikahan, perceraian, pembuktian dan lain-lain) diklaim sebagai bukti nyata dari karakteristik al-Qur’an yang patriarkis dan anti-kesetaraan.

Namun, Barlas menentang klaim semacam ini dengan alasan (seperti yang kini diakui oleh kebanyakan kaum feminis) bahwa memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda tidak berarti harus memperlakukan mereka secara tidak setara dan memperlakukan mereka secara sama juga tidak selalu berarti memperlakukan mereka secara setara. Kedua, seperti yang akan terlihat dalam pembacaan Barlas, perlakuan al-Qur’an yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada klaim tentang perbedaan atau kesamaan gender seperti yang dinyatakan oleh teori-teori ketidaksetaraan dan penindasan gender.

Kemudian mengenai aplikasi dari prinsip egalitarianisme al-Qur’an, Barlas menguraikan isu-isu utama perempuan yaitu, pertama, seksualitas dan gender dalam Islam, khususnya di sekitar isu mengenai persamaan (sameness), perbedaan (difference), dan kesetaraan (equality) antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan konsep sameness, yang telah dipromosikan oleh sebagian kalangan feminis, bagi Barlas tidak sesuai dengan pandangan al-Qur’an. Tapi ia tetap mengakui perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan fisik tidak kemudian membedakan mereka dalam tataran moral dan etika. Selain itu menurutnya, laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan, bahkan persamaan pada tingkat ontologis, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs. Uraian yang diberikan Barlas tentang konsep nafs ini cukup panjang, namun penulis sulit menemukan temuan baru dari pemikirannya, sehingga terkesan ia banyak mengutip dari pemikir sebelumnya seperti Fazlur Rahman, Riffat Hassan dan Amina Wadud. Namun ia memberi kesimpulan bahwa persamaan antara laki-laki dan perempuan terletak pada kapasitas yang sama sebagai agen moral artinya, mereka sama-sama memiliki tugas-tugas kemanusiaan yang tidak berbeda.

Hal kedua yang disorot Barlas adalah wacana tentang keluarga dan perkawinan. Menurutnya sistem keluarga dalam Islam tidak menunjukkan nilai-nilai patriarkalisme. Untuk meluruskan pemahaman umat Islam, yang menurutnya selama ini menganggap lembaga perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya patriarkalisme di dalam al-Qur’an, Barlas menekankan perlunya pemahaman tidak hanya terhadap teks, tapi juga terhadap konteks ayat itu diturunkan. Dalam melihat isu mengenai keluarga dan perkawinan Barlas menggunakan pendekatan ini. Al-Qur’an menurut Barlas dalam kaitannya dengan hubungan orangtua dan anak, lebih banyak menekankan soal kewajiban di antara mereka daripada soal hak. Barlas berusaha menjelaskan makna yang sebenarnya dari istilah qawwamuna, ia tidak menafsirkannya dengan pemimpin, tapi ia lebih condong untuk menafsirkannya sebagai laki-laki pencari nafkah. Namun menurutnya, laki-laki pencari nafkah tidak otomatis menjadi kepala keluarga. Begitu pula dalam konteks nusyuz, menurutnya al-Qur’an sama sekali tidak pernah menekankan agar istri menaati suami. Sebagaimana feminis lainnya, kata daraba tidak selalu dimaknai dengan memukul, tapi juga bisa dimaknai dengan memberi contoh.

Hal ketiga adalah soal kritik Barlas terhadap patriarkisme dalam menafsirkan al-Qur’an. Barlas menolak patriarkisme di dalam al-Qur’an, jika yang dimaksud adalah aturan kebapakan atau politik pengistimewaan laki-laki. Untuk membuktikan bahwa al-Qur’an menolak patriarkisme, dan sebaliknya mengajarkan egalitarianisme, Barlas menguraikan secara panjang konsep tauhid. Konsep ini ia gunakan untuk menolak adanya asumsi patriarkisme di dalam Islam, misalnya konsep yang mengatakan bahwa Tuhan terdiri atas unsur bapak dan anak.

Asma Barlas yang berangkat dari tujuan demi sebuah pembebasan terhadap perempuan dari penindasan terhadap penafsiran al-Qur’an, mencoba mengurai beberapa hal yang berkaitan dengan sistem patriarki yang telah mempengaruhi berbagai macam penafsiran al-Qur’an. Hal ini juga telah dilakukan oleh banyak feminis perempuan di dunia Islam dewasa ini, seperti Riffat Hassan, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, dan sebagainya – termasuk Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir dan Siti Ruhaini, Nurul Agustina, dalam lingkup Indonesia-, berusaha membongkar berbagai macam pengetahuan normatif yang bias kepentingan laki-laki, tetapi selalu dijadikan orientasi kehidupan beragama, khususnya menyangkut relasi gender.

Secara umum dapat dikatakan bahwa konstruksi metodologi dan pemikiran Asma Barlas merupakan refleksi pemikiran yang kritis berperspektif gender, di mana ia ingin melihat isu-isu perempuan dalam bingkai epistemologi egalitarianisme yang menjunjung keadilan, kesetaraan yang dilandasi oleh semangat menghormati hak-hak asasi manusia, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Begitu pula yang diusung oleh teologi feminis, yaitu teologi pembebasan yang diterapkan untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan. Teologi feminisme adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini bertujuan untuk menghapus patriarki, dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender.[7] Gender bukan semata-mata persoalan sosiologis, tetapi telah merambah wilayah ketuhanan.

Hal ini sejalan dengan isu yang diangkat oleh Asma Barlas, tentang ketidakadilan gender dan prinsip egalitarianisme atau pembebasan dalam membaca al-Qur’an terhadap konteks ayat-ayat tentang perempuan. Karena salah satu wacana utama tentang ketidakadilan gender yang sering dipermasalahkan adalah pandangan “agama” tentang penciptaan Adam dan Hawa serta kepemimpinan perempuan. Melihat realitas semacam ini, dekonstruksi terhadap pandangan teologis sebagai akar terjadinya diskriminasi gender menjadi agenda utama gerakan ini.

*) Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Interdisiplinary Islamic Studies Konsentrasi Social Work
Catatan Kaki :
[1] Gerakan feminisme sebagai gerakan perempuan dalam memperjuangkan kedudukannya supaya sejajar dengan laki-laki baru muncul sebagai istilah pada tahun 1880. Lihat Syafiq Hasyim (et.al.), " Gerakan Perempuan Dalam Islam: Perspektif Kesejarahan Kontemporer", dalam Tashwirul Afkar, edisi No.5 (Jakarta: Lakpesdam dan LTN-NU, 1999), hlm. 4

[2] Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan berdasar pada faktor biologis atau berdasarkan jenis kelamin (sex) sebagai kodrat Tuhan yang secara permanen berbeda, tetapi behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang social contructed, yaitu perbedaan yang diciptakan melalui proses sosial budaya yang panjang. Lihat Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Penterj. H. Silawati (Yogyakarta : Rifka An-Nisa' WCC dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm, 3-4

[3] Patriarchal adalah garis perayahan, Patriarchy: sistem kemasyarakatan yang menentukan ayah sebagai kepala keluarga. Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2000), hlm. 421

[4] Matriarchal adalah garis peribuan, Matriarchy: Pucuk pimpinan di tangan perempuan atau ibu. Lihat Ibid, hlm. 375
[5] Tafsir bil Ma'sur adalah tafsir al-Qur'an dengan menggunakan al-Qur'an, hadis-hadis Nabi ataupun pendapat-pendapat para sahabat dan tabi'in dalam menjelaskan makna dan maksud al-Qur'an. Lihat Muhammad ad-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz I (Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1976), hlm. 152

[6] Tafsir bil Ra'yi diartikan sebagai tafsir al-Qur'an dengan menggunakan ijtihad setelah mufassir memenuhi syarat untuk menafsirkan al-Qur'an. (Lihat Ibid, hlm. 255). Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir bil ra'yi ini adalah antara lain: mengetahui bahasa Arab dengan segala aspeknya, mengetahui ilmu ushuluddin, ilmu ushul fiqh, ilmu asbabunnuzul, ilmu Nasikh wa Mansukh, kisah-kisah dalam al-Qur'an dan sebagainya. (Lihat Ibid, hlm. 266-268)

[7] Ratna Megawangi, “Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman”, dalam Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Edisi ke-1, 1996, hlm. 14

0 komentar: