KONSEP PEMERINTAHAN DAN NEGARA, MENURUT MUHAMMAD SA’ID AL-’ASYMĀWĪ

Posted: Kamis, 16 Oktober 2008
Oleh : Edward Bot*)
q
Lahirnya penafsiran dan pemahaman yang beraneka ragam terhadap agama tidak bisa lepas dari tarik-menarik pendapat tentang posisi transedental wahyu al-Qur'an yang bersifat abadi, kekal dan salīh li kulli zamān wa makān. Namun bagi umat Islam, agama secara tradisional telah menjadi landasan serta pusat identitas, kesetiaan dan pengabdian terdalam. Karena itu, tidak mengherankan jika gerakan-gerakan sosial dan politik yang paling signifikan dalam sejarah Islam kontemporer selalu menempatkan Islam sebagai kekuatan pendorong dan basis kohesi internal.

Pada level cita-cita kolektif, kuat tertancap keyakinan kalangan umat Islam tentang kesatuan agama dan negara. Pesona untuk Islamisasi Pemerintahan telah menjadi pesona yang menyala-nyala, karena Islam diyakini sebagai agama yang integral dan konprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Tidak ada aspek dari keseharian umat Islam yang bisa lolos dari jangkauan agama. Obsesi demikian agaknya sulit untuk ditekan-tekan, mengingat Islam masih tetap merupakan kriteria paling tinggi untuk identitas dan loyalitas kelompok. Islam-lah yang membedakan antara diri sendiri dengan orang lain, antara saudara dengan orang asing, antara hitam dan putihnya suatu masalah.

Dalam pendekatannya mengenai konsep pemerintahan dan negara, Muhammad Sa’id al-’Asymāwī salah seorang intelektual garda depan dari mesir menarik batas yang tegas antara yang ‘Ilahiah’ dan yang ‘Manusiawi’. Dia memakai istilah “Pemerintahan Allah” (hukūmah Allāh) untuk pemerintahan oleh seseorang yang memperoleh bimbingan langsung dari Allah SWT melalui pewahyuan. Sedangkan pemerintahan selain pemerintahan ini adalah “Pemerintahan Manusia” (hukumah an-nās).

’Asymāwī menyebutkan empat syarat bagi sebuah negara untuk bisa disebut sebagai pemerintahan Allah. Pertama, pemerintahan dipimpin oleh seorang Nabi yang dipilih Allah dan memiliki hubungan dengan Allah melalui wahyu. Kedua, pemerintahan arbitrase (hukumah tahkīm). Ketiga, meskipun Nabi dianjurkan untuk bermusyawarah (syurā) dalam pengelolaan pemerintahan atau negara, namun beliau tidak diwajibkan untuk mentaati hasil musyawarah. Keempat, hak-hak yang dimiliki oleh nabi dalam pemerintahan ini tak bisa berpindah atau diwarisi oleh siapapun.

’Asymāwī mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam yang benar adalah sistem yang bersumber dari realitas masyarakat dan kehendak generasinya, sistem yang memungkinkan partisipasi setiap individu dalam setiap tanggung jawab pemerintahan, legislasi dan pengawasan, sistem yang menghormati manusia dan tidak berkutat pada teks. Ia sangat peduli kepada urusan kemanusiaan dan tidak terjebak pada pendapat-pendapat serta asumsi-asumsi. Ia berjalan sesuai dengan kemuliaan di atas jalan kebenaran. Pemikiran ’Asymāwī yang demikian tentu sangatlah berguna untuk memecahkan kebekuan yang bersemayam dalam pemikiran politik Islam selama ini dan dengan cara seperti ini, akan menghasilkan pemikiran baru yang kreatif, substansial, up to date, humanis dan kompatibel dengan nilai demokrasi dan pranata politik modern.
.
*)Alumni Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, serta pemerhati Filsafat

0 komentar: